Demonstran Mulai Diintimidasi
MEMASUKI hari yang 29 melakukan gerakan hati nurai rakyat Kutai Kartanagara menuntut penegakan demokrasi yang adil dan beretika, kaum guru telah mendapat intimadasi dan ancaman dari pihak-pihak luar. Diberbagai kecamatan, telah diciptakan permusuhan antara guru dengan wali murid. Celakanya, contoh di Kecamatan Kota Bangun tindakan intimidasi tersebut justru dilakukan oleh Anggota DPRD Kukar sendiri.
“Baik pejabat pemerintah atau anggota dewan yang tidak setuju dengan suara rakyat, bahkan dengan jelas justru melakukan intimidasi, pecat,” teriak massa ketika digelar Rapat di Sidang Panmus.
Memang sejak tak kunjung dinginnya suhu politik di Kukar, para guru melakukan mogok mengajar dan membentuk kekuatan baru mendobrak kesewenang-wenangan yang sengaja dilakonkan Gubernur Kaltim Suwarna AF. Bukan jamannya lagi guru hanya berkutat mengajar dan mengajar saja. Guru yang telah diberi kewenangan untuk berbicara mencoba menggunakan haknya. Dosa, kebohongan atau politik pemecah belah oleh gubernur menjadi kerikil tajam menyakit kaki-kaki ribuan guru yang tersebar di 18 Kecamatan se-Kukar. Guru yang ikut merasa teraniyaya mulai tergugah, nurani mereka terpanggil untuk merperjuangkan arti kebenaran bersama masyarakat lainnya.
Tampaknya, pemahaman dan perjuangan para guru, mulai dibelokkan oleh pihak-pihak tertenu dengan alasan karena telah mengorbankan anak didiknya. Wali murid dikondisikan bahwa guru tidak perlu ikut-ikutan melakukan aksi demo. Yang terjadi, di berbagai kecamatan wali murid yang telah terprovokasi menunjukkan sikap tidak suka terhadap guru.
“Hadirnya guru bukan sekedar ikut-ikutan yang tidak tahu apa-apa. Namun persoalan ini telah menggugah hati nurani kami. Pejabat Bupati yang dipaksakan pemerintah pusat melalui rekomendasi gubenur yang tidak dikehendaki rakyat hanya akan menibulkan kehancuran,” ujar Ketua FSG Syamsul haidir.
Haidir yang selalu dibarisan terdepan saat berdemo ini mengambil kasus di Banyuwangi-Jawa Timur. Penolakan massa terhadap pejabat bupati hasil utusan pemerintah pusat itu dilampiaskan dengan cara merusak berbagai gedung perkantoran termasuk kantor bupati dan dewan karena menolak pejabat utusan pemerintah pusat. Pengerusakan massa itu mengingtkan kepada pemerintah sebelum mengelurkan kebijakan semestinya melihat ke bawah, mendengar aspirasi daerah.
“Setelah hancur-hancuran, pemerintah pusat baru sadar dan mengganti pejabat bupati sesuai keingnan rakyat. Apakah kita harus mengalami hal yang sama,” teriak Haidir berapi-api.
(
GdR)