DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Tama Pole, Penduduknya Hanya 397 Jiwa

Tama Pole, Penduduknya Hanya 397 Jiwa


Peta Kelurahan Tama Pole, Penduduknya Hanya 397 Jiwa (Foto: sahrin)


Salah Satu Sisi Tama Pole (Foto: sahrin)
Sebagai wilayah yang pernah masuk ke dalam administrasi Kotamadya Samarinda, Kecamatan Muara Jawa ternyata tidak memiliki pemerintahan desa. Sebaliknya, kecamatan di pesisir Kutai Kartanegara (Kukar) itu, memiliki kelurahan di semua wilayah administrasinya. Sekilas, dengan status itu kecamatan tersebut dapat dikatakan maju, namun Kunjungan Kerja Komisi IV di salah satu kelurahannya, Kamis (3/2) menemukan fakta yang berbeda.

Rombongan Komisi yang terdiri atas H Ali Hamdi ZA SAg, Sudarto BA, HM Syarifuddin, dan H Masruni Adjus. Dalam kunjugannya ke Kelurahan Tama Pole mendapati, status kelurahan yang disandang kawasan itu ternyata tidak terlalu relevan dengan kondisi setempat. Sebagai kelurahan, jumlah penduduknya ternyata tidak mencapai 400 jiwa (397 jiwa) dan hanya terdiri atas 2 rukun tetangga dengan 38 Kepala Keluarga (KK).

Lurah Tama Pole, Ngadijo, kepada rombongan menjelaskan, status kelurahan yang disandang daerahnya memang merupakan warisan masa lalu. Ketika itu Kecamatan Muara Jawa masih menjadi bagian dari Kotamadya Samarinda. Keberadan Tama Pole sebagai kelurahan merupakan konsekuensi dari pembentukan kecamatan tersebut, dimana salah satu syaratnya adalah jumlah kelurahan, mesti sesuai dengan Perda Kota Samarinda ketika itu.



Anggota Komisi IV Foto Bersama di Depan Pusban (Foto: sahrin)
Ketika Kecamatan Muara dan beberapa kecamatan lainnya administrasinya dialihkan Ke Kutai pada tahun 1980-an, status kelurahan tidak serta merta berubah. Bahkan status tersebut tetap dipertahankan oleh pemerintah daerah dan kabupaten sekarang ini. Selama berdirinya, Tama Pole baru 2 kali berganti lurah.

Layaknya sebuah kelurahan, masyarakat setempat pantas merasa lega. Fasilitas desa ternyata cukup lengkap, dan mudah dijangkau. Ketika rombongan komisi mengadakan peninjauan langsung, didapati adanya Pusban (Puskesmas Pembantu) yang memiliki fasilitas cukup lengkap, sebuah sekolah dasar yang refresentatif buah bantuan PT Total E&p Indonesie.

Namun, sebuah hal yang cukup menjadi pertanyaan dewan adalah personil Pusban yang tidak di tempat meskipun jam kerja masih berlangsung. Kelurahan sendiri menerangkan, kondisi itu terjadi lantaran personil Pusban yang hanya satu orang itu kini berada di kota kecamatan untuk menyambut orang tuanya pulang dari ibadah haji. Meskipun jadwal umum Pusban di seluruh kabupaten buka setiap hari, Pusban Tama Pole hanya buka setiap Selasa dan Kamis.

Berkaitan dengan saran pendidikan, dimana hanya terdapat satu sekolah dasar. Hal itu di dasarkan pada prosentase jumlah siswa, dimana sekolah lanjutan masih merupakan hal yang kurang diperhatikan masyarakat yang sebagian besar profesinya, adalah nelayan dan petani. Untuk bersekolah di SLTP ataupun SLTA mereka kemudian menuju ibukota kecamatan dan kelurahan tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Setelah melihat berbagai kondisinya, Ketua Komisi, Ali Hamdi menegaskan. Pihaknya akan mempelajari dengan seksama status kelurahan yang terdapat di Muara Jawa. Meskipun bukan wewenang komisinya, namun prosentase penduduk dan luas wilayah serta melihat jumlah Rukun Tetangga yang ada, pihaknya melihat kejanggalan dengan status itu.

“Kalau mau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya Tama Pole ini tidak layak menjadi kelurahan,” tandasnya.

Peninjauan ulang itu layak-layak saja dilakukan, lantaran status yang melekat di kelurahan itu dan kelurahan-kelurahan lainnya, merupakan warisan kotamadya. Dengan statusnya yang bagian dari kabupaten, di mana Tenggarong saja sebagai ibu kotanya masih memiliki beberapa desa, status kelurahan itu nampak telah sangat maju untuk ukuran Muara Jawa.

Persoalan pemerintahan di tingkat desa itu, tidak hanya melulu milik Muara Jawa, beberapa waktu lalu, ketika Komisi I melakukan kunjungan ke Kecamatan Samboja. Seorang tokoh masyarakat setempat bahkan meminta, agar status kelurahan di tempatnya diturunkan atau diganti saja menjadi desa.

Oleh Komisi I ketika itu, ditanggapi dengan bijaksana. Menurut Martin Apuy dan Made Sarwa, perubahan status dari kelurahan merupakan sebuah kemunduran. Karena, jenjang-jenjang sebuah pemerintahan desa, memang berawal dari desa dan berkembang menjadi kelurahan seiring kemajuan pembangunan di desa itu.
(rin)