Warga Desa Embalut Blokir Jalur Tambang PT Kitadin
 Suasana Pertemuan di Kantor PT Kitadin (Foto: sahrin) |
|
|
|
PT Kitadin, sebuah perusahaan asal Thailand, yang bergerak di bidang pertambangan batubara, kembali mengalami persoalan dengan warga di sekitar lokasi tambangnya. Sebanyak 24 orang warga Desa Embalut, memblokir jalur tambang yang berada di L4 Desa Bangunrejo. Ke 24 orang tersebut, menuntut ganti rugi atas lahan yang telah dibebaskan perusahaan, dengan alasan tanah itu adalah hak milik orang tua mereka.
Menyikapi pemblokiran jalur itu, Banfu Kitadin yang sebenarnya telah memberikan ganti rugi terhadap pemilik tanah, berdasarkan sertifikat kepemilikan, mengambil langkah persuasif. Selain melaporkan persoalan itu kepada kepolisian setempat (Polsek Teluk Dalam), perusahaan juga mengundang Komisi I DPRD Kutai Kartanegara untuk membahas permasalahannya di Kantor Kitadin, Senin (14/3).
 Ketua Komisi I didampingi Wakil Ketua dan Anggota Medengarkan Penjelasan Perusahaan (Foto: sahrin) | |
|
|
Dalam pertemuan itu, manajemen Kitadin yang terdiri atas Chumpon dari Thailand yang menjabat sebagai Deputy Direktur Opersional dan Ir Syalisman Manager Administrasi, menjelaskan, penyetopan jalur itu dilakukan warga Embalut, lantaran perusahaan tidak mau memenuhi tuntutan warga.
Perusahaan berpandangan, ganti rugi hanya dapat diberikan kepada pemilik lahan yang sah, dibuktikan dengan keterangan hukum yang lengkap. Warga Embalut yang menuntut ganti rugi itu, hanya memiliki bukti kepemilikan berupa segel keluaran 1986, sedangkan warga transmigrasi yang mendapatkan ganti rugi, memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat keluaran 1983.
Kepada anggota Komisi I, yang terdiri atas Ketua Ir Martin Apuy, Wakil Ketua I Made Sarwa, anggota Maghdalena HA dan H Hermain D BA, perusahaan juga menjelaskan kebijakan mereka, yang tidak akan memberikan ganti rugi dua kali terhadap lahan yang sama, kecuali diputuskan melalui jalur hukum di pengadilan. Dalam persoalan kali ini, perusahaan juga telah mengambil kebijakan mengalah dengan memberikan tali asih, yang jumlah keseluruhannya telah mencapai Rp 100 juta lebih.
Dijelaskan, sebagai pembeli lahan, Kitadin sebenarnya tidak terlibat langsung dalam silang sengketa itu, namun memandang persoalannya sangat prinsip, perusahaan juga telah proaktif dalam mencari jalan keluar. Diantaranya dengan melakukan berbagai pertemuan dan memfasilitasi pertemuan antara pengklaim dan pemilik sertifikat. Warga Embalut sebenarnya telah sempat menyatakan kesediaannya untuk mundur dari tanah yang disengketakan, bila benar ada sertifikat dari warga penggarap (transmigrasi).
 Pihak Perusahaan Menjelaskan Peta Lokasi yang Dipermasalahkan (Foto: sahrin) | |
|
|
Namun, atas bujukan dari beberapa pihak yang ternyata adalah orang dari luar desa, warga kemudian bersikeras menuntut ganti rugi atas lahan yang ada. Melihat persoalan yang krusial itu, manajemen perusahaan kemudian menyarankan warga yang menuntut untuk menempuh jalur hukum, bila dinyatakan sah oleh pengadilan, perusahaan bersedia untuk memberikan ganti rugi serupa atas lahan. Tetapi warga tidak mau persoalan itu dibawa ke jalur hukum, sehingga kasusnya tidak kunjung selesai.
Pihak Komisi I menanggpi presentasi perusahaan menjelaskan, mereka sebagai perwakilan rakyat di legislatif, sangat konsen dalam menyelesaikan persoalan yang ada. DPRD akan bertindak sebagai fasilitator bagi kedua pihak, baik perusahaan maupun masyarakat. Namun, menyangkut kepemilikan tanah di L 4 yang saat ini sedang bermasalah, dewan melihat perlu adanya sebuah uji keabsahan, baik terhadap sertifikat warga L 4 maupun segel yang dimiliki warga Embalut. Hal itu penting dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan pada kemudian hari.
Ketua Komisi I Ir Martin Apuy menegaskan, pihaknya akan segera melakukan pemanggilan kepada Dinas Pertanahan, Dinas Transmigrasi dan berbagai pihak terkait dalam waktu dekat ini. Kepada masyarakat yang melakukan pemblokiran jalan tambang, pihaknya mengimbau untuk segera membuka dan mempercayakan persoalan itu melalui jalur musyawarah.
Pemblokiran itu tidak hanya merugikan perusahaan semata, tetapi juga merugikan warga desa sendiri. Berdasarkan keterangan perusahaan, ada sekitar 2400 karyawan yang berasal dari desa-desa sekitar, termasuk Embalut yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan. Bila jalan tambang ditutup dalam waktu lama, tentu akan berimbas kepada keuangan perusahaan yang buntutnya akan merugikan karyawan sendiri.
Sedangkan I Made Sarwa kepada semua pihak yang hadir dalam pertemuan itu mengimbau, agar warga tidak mudah terpengaruh terhadap bujukan orang dari luar desa. Warga cukup mempercayakan persoalan itu kepada wakil mereka di legislatif, Made berjanji akan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang masuk selama masih sesuai dengan aturan yang berlaku.
(
rin)