DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Arkeolog Pecahkan Teka-Teki Situs Muara Kaman

Arkeolog Pecahkan Teka-Teki Situs Muara Kaman


Photo Lesong Batu yang diyakini arkeolog sebagai Yupa (batu tegak) (Foto: Istimewa)
NAMANYA bagi masyarakat Kutai Kartanegara (Kukar) sudah tak asing lagi. Letak wilayah memang cukup terpencil. Secara geografis, Muara Kaman terletak sekitar 110 kilometer ke arah hulu aliran Sungai Mahakam dari Kota Samarinda. Untuk menuju ke daerah itu tidaklah terlalu sulit. Ada dua jalur yang bisa digunakan yakni; melalui jalan darat atau jalur sungai dengan menggunakan kendaraan air.

Muara Kaman yang dalam lembar Sejarah Nasional Indonesia diklaim sebagai sentral Kerajaan Hindu tertua pada abad ke IV di negeri ini, disebut sebagai tonggak awal penelusuran Kerajaan Kutai atau Kerajaan Kutai Martapura (Martadipura). Bukti jejak sejarah itu terpahat dalam 6 Prasasti Yupa, yang mengkisahkan: area Kerajaan Kutai terletak di Muara Kaman. Prasasti Yupa juga mencatat: Raja Kudungga disebut sebagai pendiri kerajaan. Ia memiliki 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Mulawarman inilah raja termasyur yang pernah menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana. Untuk memperingati hal itu, para Brahmana mengukirnya dalam Prasasti Yupa.



Bagian dari batu candi yang di selamatkan oleh para sukarelawan peduli situs purbakala (Foto: istimewa)
Penemuan Prasasti Yupa adalah bagian napak tilas yang “membongkar” keberadaan Kerajaan Martapura. Yupa, yang bertuliskan huruf pallawa, disebutkan berjumlah 7 buah dalam catatan 6 Yupa yang telah ditemukan sebelumnya. Dan satu Yupa belum diketemukan. Hasil penelitian arkeologis, awal September 2005 tahun lalu, Lesong Batu yang kini berada di Muara Kaman oleh Dwi Cahyono, Arkeolog asal Univesitas Negeri Malang, diyakini sebagai Yupa yang belum terlacak. “Apa yang oleh masyarakat dinamakan sebagai "Lesong Batu" itu, sangat dimungkinkan adalah Yupa,” ungkap Cahyono saat diwawancarai GARDA melalui surat elektonik. Cahyono menjelaskan, kata Yupa berasal dari bahasa Sansakerta, yang artinya tegak. Batu tegak berbentuk balok panjang yang disebut “Lesong Batu” itu, dulunya dalam posisi berdiri, kini berbaring diatas tanah.

Keberadaan Kerajaan Kutai Martapura ternyata bukan sekadar paparan tertulis dalam data sejarah. Semenjak “terbongkarnya” bagian konstruksi “candi” oleh sebagian masyarakat Muara Kaman, Asminan Ramadhan, sukarelawan setempat, yang selama ini peduli terhadap keberadaan benda-benda purbakala itu, optimis, jejak Kerajaan Kutai Martapura dapat tersingkap. “Kita berharap dengan penelitian arkeologis selama ini, teka-teki Kerajaan Martapura akan cepat terjawab,” tutur Asminan, yang masih cucu Pejuang Gerliya Nasional, Muso Bin Salim. Namun, bagi Asminan, yang pernah turut serta memperjuangkan project penelitian di DPRD dan Pemkab Kukar itu, menjelaskan, penelitian arkeologis yang selama ini telah memasuki tahap II, belum maksimal. “Penelitian itu terlalu singkat,” jelasnya.

Tak jauh berbeda dengan pandangan Asminan, hal senada diungkapkan Cahyono, yang menyayangkan alokasi waktu penelitian yang singkat. “Sayang sekali, lagi-lagi ekskavasi Kami periode II di lokasi ini terbentur dengan pendeknya waktu riset,” keluhnya. Padahal, tambah Cahyono, dalam penelitian di Muara Kaman itu telah ditemukan situs makam kuno; gerabah; manik-manik; dan perangkat dari logam semacam mata tombak. “Seyogyanya, penelitian arkeologis di lokasi ini dilajutkan, sehingga hipotesis situs purbakala tersebut dapat semakin jelas dibuktikan,” terang Cahyono, yang sudah menganggap warga Muara Kaman seperti saudaranya sendiri.



Asminan, seorang sukarelawan yang masih merawat dan menyimpan benda2 purbakala (Foto: istimewa)
Penelitian arkeologis yang diagendakan tiga periode, dan baru berlangsung dua periode (tahap I dan II), dari tiga periode yang direncanakan berdasarkan Memorandum Of Understanding (MOU) antara Pemkab Kukar dan Universitas Negeri Malang, menurut Cahyono, masih perlu untuk terus dilanjutkan. Jika riset di Muara Kaman pada tahun 2006 dilajutkan, berarti ada harapan untuk menjadikan situs ini menjadi lebih bermakna pada masa mendatang. Tapi, rencana penelitian itu terpulang kepada Pemkab dan masyarakatnya. ”Apakah situs Muara Kaman dibiarkan dengan segala misteri dan kegelapan sejarahnya, dibiarkan terancam kelestarian tinggalan budaya luhurnya, ataukah sebaliknya disikapi dan ditindaklanjuti secara bijak dengan melestarikan, dan mengembangkan memanfaatkannya,”ujarnya.

Tidak hanya memiliki nilai sejarah, situs purbakala Muara Kaman juga dinilai Edy Mulawarman, anggota DPRD Kukar asal PDI Perjuangan, sebagai aset daerah yang harus dilindungi dan dilestarikan.”Kita harus bangga dengan keberadaan situs itu,” ungkap Edy, yang pernah “bergerliya” memperjuangkan dana penelitian benda-benda purbakala tersebut di hadapan para Dewan. Edy pun menjelaskan, seharusnya alokasi waktu penelitian di Muara Kaman tidak dipangkas, yang seharusnya 1 bulan, menjadi 20 hari. “Kita berharap untuk penelitian selanjutnya, tidak sesingkat penelitian sebelumnya,” saran Edy. (gu2n)