DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Pendidikan Di Kukar Baru Tahap Kelas Unggulan

Pendidikan Di Kukar Baru Tahap Kelas Unggulan


Siswa Sekolah Unggulan, SMAN 3 Tenggarong (Foto: dian)
Adanya perbedaan pendapat seputar keberadaan SMA Negeri 3 Tenggarong, yang disebut-sebut sebagai sekolah unggulan, beberapa waktu lalu. Sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak menyadari dan mengerti, konsep dari sekolah unggulan itu sendiri. Tidak mungkin sebuah sekolah dapat dikatakan unggulan, apabila fasilitasnya masih meminjam dan berbaur dengan sekolah standar biasa.

Seperti diungkapkan Wakil Ketua Komisi IV H Sutopo Gasif SPd MPd, idealnya sebuah sekolah unggulan berada di sebuah lingkungan yang tenang, memiliki fasilitas lengkap dan tidak menumpang. Kriterianya banyak, terutama di bidang kurikulum dan metode belajarnya jelas, demikian pula dengan keberadaan tenaga pengajar tidak dapat main rekrut semaunya saja, melainkan harus melalui fit and proper test.

“Sekolah unggulan itu ada kriteria dan prosesnya bukan asal jadi begitu saja,” tandasnya.

Seperti telah dikatakannya semula, kriteria itu dapat berupa kurikulum khusus, yakni sebuah metode belajar mengajar yang tidak sama dengan sekolah reguler. Fasilitasnya tersendiri dan berada pada kawasan yang tenang, bukan ditengah pemukiman warga, sehingga tidak ada yang menggangu.

Melihat strata mutu pendidikan Kutai Kartanegara hingga saat ini, alumni lemhanas tahun 2000 tersebut melihat, situasi rill di lapangan menunjukkan dunia pendidikan daerah ini baru mencapai tahap kelas unggulan, belum sekolah unggulan. SMAN 3 semestinya belum dapat dikatakan sekolah unggulan, melainkan kelas unggulan, hal itu mengacu pada keberadaan sekolah itu sendiri yang masih numpang fasilitas, serta keberadaan siswanya yang semula murid-murid terpandai dari SMAN 2 yang dikumpulkan menjadi satu.

“Nama unggulan bagi SMAN 3 itu kurang tepat, karena berbagai kriteria belum jelas dan saya cenderung menganggapnya sebagai kelas unggulan saja,” jelas Sutopo.

Apa yang dikatakan Topo (panggilan akrab Sutopo) memang merujuk pada kronologis sekolah unggulan itu sendiri. Beberapa tahun lalu, Pemkab Kutai Kartanegara telah mencanangkan peningkatan mutu pendidikan daerah, salah satu terobosannya adalah dengan menunjuk beberapa sekolah di daerah ini sebagai Pilot Project Sekolah unggulan, yang mendapat kepercayaan adalah SDN 002, SLTP N I dan SMUN 2 Tenggarong.

Sekolah yang ditunjuk kemudian melakukan penjaringan calon siswa unggul, ketika adanya penerimaan calon siswa baru. Demikian pula SMUN 2, mereka kemudian membuka kelas unggulan yang siswanya diajarkan dengan metode khusus dan penambahan jam belajar. Setelah itu barulah muncul SMAN 3 lengkap dengan atribut keunggulnya yang mengagetkan semua pihak, karena dalam prakteknya kemudian, sekolah ini bahkan disebut-sebut akan menggeser keberadaan SMUN 2.

Rencana pemindahan sekolah yang sebelumnya telah pernah direlokasi, akibat pembangunan Jembatan Kartanegara, tentu saja mengundang pro dan kontra. Banyak alumni dan elemen siswa bersama-sama guru, menentang rencana yang digagas Diknas itu. Selain alasan historis, faktor efektivitas pendidikan dalam kategori unggulan juga tidak cocok untuk kawasan yang dilirik tersebut.

Menyikapi perihal demikian, Sutopo dalam pendapatnya menyayangkan kejadian tersebut. Tidak seharusya muncul ide-ide tidak produktif dalam dunia pendidikan di daerah ini, karena semua pihak sama-sama mengetahui, program sekolah unggulan tidak akan berjalan efektif apabila dipaksakan pada wilayah ramai penduduk.

Berkaitan dengan itu, ia melihat kebijakan Pemkab Kutai Kartanegara, melalui Bupati Prof Dr H Syaukani HR MM, terhadap pendidikan telah berjalan cukup bagus. Perhatian yang diberikan lumayan besar, terlihat darai berbagai kebijakan memangkas biaya sekolah yang biasanya mencekik siswa. Hanya saja dalam pelaksanaannya di lapangan, seringkali diselewengkan oleh para oknum aparat tidak bertanggung jawab.

Sutopo juga sempat menyinggung rumor yang beredar, mengenai kebingungan Kadiknas untuk menjalankan alokasi dana pendidikan sebesar 20 % dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD). Menurutnya semua itu tidak perlu, karena anggaran sebesar 20 persen itu peruntukannya telah jelas.

Alokasi 20 persen tersebut telah jelas penggunaannya, yakni untuk pengembangan SDM seperti pemberian beasiswa dan bantuan pelajar tidak mampu, pembangunan sarana prasarana berupa pengadaan buku, alat bantu praktek dan lainnya, serta pengembangan fisik pendidikan berupa pembangunan gedung sekolah, renovasi dan lainnya pula.

“Jadi tidak perlu banyak bingung, tinggal laksanakan saja dan bagi seorang teknis serta mengerti pendidikan tidak akan mengalami kesulitan menjalankannya,” tambah Sutopo. (rin)