DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Keunggulan SDM Kunci Kemajuan Kukar

Keunggulan SDM Kunci Kemajuan Kukar


Sutopo Gasif, Alumni Doswira Lemhanas ke XXI Tahun 2000 (Foto: dian)
Apapun yang terjadi dengan daerah ini di masa datang, berubah jadi gurun pasir akibat penambangan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak terkendali, porak poranda akibat penebangan hutan yang habis-habisan, rakyat Kutai Kartanegara akan sanggup bertahan dan maju. Asalkan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM) telah baik, dan memiliki keunggulan yang sesuai dengan spesifikasi geografis, kultur serta karakteristik sosial di daerah ini.

Kondisi demikian telah dijumpai dalam peradaban bangsa Jepang, semua orang tahu, sebelum mencapai taraf perekonimian sebagaimana sekarang ini, mereka adalah bangsa yang kalah perang, porak-poranda oleh bom atom. Dalam kondisi terjajah, dan serba sulit mereka masih dapat bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri, tidak lebih dari 10 tahun kondisi mereka sudah mulai pulih secara drastis, merupakan satu di tujuh negara terkaya di dunia.



Mereka Adalah Penerus Kutai Kartanegara, Pendidikan Yang Baik Menjamin Kemampuannya (Foto: dian)
Demikian pula dengan daerah ini, meskipun banyak pihak yang meramalkan hancurnya ekosistem dan tidak kondusifnya lingkungan, namun dengan SDM yang unggul tentu dapat bertahan dan mengatasinya. Kunci keunggulan tersebut tentu saja tidak akan didapat begitu saja, melainkan harus diusahakan dengan cara memperbaiki sistem pendidikan yang ada sekarang ini.

Seperti diungkapkan H Sutopo Gasif SPd MPd, Anggota Komisi 4 DPRD Kutai Kartanegara yang juga praktisi pendidikan, sekaligus dosen di daerah ini. Untuk bertahan pada masa 10 hingga 20 tahun mendatang, mau tidak mau kita harus mengambil sebuah langkah nyata guna meningkatkan kualitas dunia pendidikan kita.



Meskipun SDA Habis Terkuras, SDM Yang Handal Mampu Mengatasinya (Foto: ist)
Alumni Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Angkatan XXI tahun 2000 ini, memiliki resep yang dapat dijadikan terobosan dalam mengejar mutu pendidikan daerah. Kutai Kartanegara memang telah memiliki kemajuan dalam dunia pendidikan, namun kemajuan baru sebatas kuantitas, belum kualitas.

Hal itu dapat terlihat dari kurangnya kemampuan bersaing para lulusan sekolah dan universitas daerah ini, ketika harus berhadapan dalam kondisi persaingan dengan para sarjana dari pulau jawa dan sulawesi.

Sutopo yang pernah mengenyam kursus Dosen Kewiraan (Doswira), selama 3 bulan pada Lemhanas tersebut melihat, ketidakmampuan SDM daerah bersaing dengan pihak luar, bukan lantaran tidak mampu menangkap pelajaran atau materi yang diberikan selama di bangku kuliah, namun lebih kepada kurangnya penyerapan materi akibat tidak adanya sistem kurikulum ang sesuai dengan tipikal masyarakat di daerah ini.

Selama puluhan tahun sejak Pemerintahan Orde Baru, dan berjalannya reformasi, persoalan pendidikan di daerah ini memang tidak pernah benar-benar, dalam kondisi yang memungkinkan para siswanya menyerap materi dengan baik. Perubahan arah dan program pendidikan nasional, ternyata tidak memperhatikan faktor penghambat dan instrumen kemajuan pendidikan daerah, seperti spesifikasi dan tifikal alam serta masyarakatnya.

Lantas apa yang menjadi kekurangan dunia pendidikan daerah, sehingga perlu perubahan kebijakan? Kekurangan dalam artian tenaga pengajar, ternyata kurang tepat. Tenaga pengajar banyak, namun Kutai Kartanegara kekurangan tenaga di bidang ilmu pendidikan. Mereka adalah para perancang kurikulum sekolah, yang mendesainer tata cara pengajaran di daerah, sesuai dengan spesifikasi daerah.

“Para desainer pendidikan itu adalah prosesing yang bertugas menggodok materi, mereka adalah pintu bagi para guru dalam mengajar, jadi jalannya pendidikan terpola dan tertarget, bukan meraba-raba lagi,”tandas Sutopo.

Dengan mempola dan mendesain pendidikan, akan tercatat sebuah program pendidikan yang ingin dicapai dalam waktu tertentu. Setiap periode dievaluasi dan itu sangat penting, guna mengetahui kekurangan dan kemajuan pendidikan, para guru yang mengajar akhirnya memiliki pedoman dan tahu apa yang semestinya disampaikan, sehingga mampu menjawab tuntutan akan SDM yang berkaulitas.

Sebagai contoh dari kelemahan mutu pendidikan daerah, Sutopo menunjuk pada Tes Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) beberapa waktu lalu. Semua lowongan pada tingkat pendidikan sarjana, ternyata habis digondol sarja lulusan luar daerah, padahal Kutai Kartanegara memiliki banyak sarjana yang baru saja lulus dari Unikarta.

“Coba lihat, apakah para sarjana kita ada yang lulus? Kan semuanya lulusan luar, meskipun mereka juga putera daerah sini,” ucap Sutopo.

Hal itu terjadi lantaran tidak adanya pemanfaatan ilmu pendidikan di daerah ini. Sebuah pendidikan yang berpola, tentu saja akan lebih memiliki target dibandingkan cara pengajaran konvensional, yakni dengan berjalan apa adanya sesuai tuntutan kurikulum nasional saja.

Untuk mendapatkan tenaga ilmu pendidikan, menurut Sutopo tidak terlalu sulit, saat ini Unikarta memiliki Fakultas Khusus Ilmu Pendidikan (FKIP). Salah satu mata studinya adalah teknologi pendidikan. Berdayakan saja para lulusannya, dan sebarkan mereka pada sekolah-sekolah. Kalau perlu biayai dan sekolahkan ke luar, kemudian dipekerjakan di daerah ini.

Pria yang pernah membeberkan konsep otonomi daerah (Otda) sebelum menjadi kebijakan pusat itu, ketika masih kursus di Lemhanas pada tahun 2000 tersebut, menjelaskan sederhana saja konsep pendidikan yang baik itu, yakni sebuah dunia pengajaran yang terarah, terkonsep dan sesuai dengan kultur, sosial, gegrafis serta tuntutan SDM yang ada. (rin)