DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Kredit Rp 500 juta , Terhambat

Kredit Rp 500 juta , Terhambat

Pemerintah mengeluarkan kebijakan dana kredit bergulir Rp500 juta per desa. Dana yang diambilkan Rp2 millir per desa tersebut sebagai upaya modal masyarakat pedesaan. Belakangan muncul, salah penyaluran hingga masyarakat penerima banyak menunggak. Celakanya, mereka berdalih modal usaha tidak perlu dikembalikan.

Untuk mengembangkan potensi perekonomian desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka melalui Proyek Gerakan Pengembangan dan Pemberdayaan Kutai (Gerbang Dayaku), pemerintah menggulirkan kebijakan yang kerap disebut ‘pancing’. Rp 500 juta sebagai dana kredit bergulir, dengan konsep memberikan modal usaha kepada masyarakat pedesaan yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Rp 500 juta tersebut diambil dari jatah Rp 2 Milyar per desa. Selain untuk pembangunan infrastruktur serta pengembangan sumber daya manusia yang juga tetap menjadi prioritas.

Layaknya sebuah program yang menyedot banyak dana, berbagai persoalan biasanya muncul. Tidak terkecuali pula dengan kredit pedesaan sebesar Rp500 juta tersebut, mulai salah penyaluran hingga tertunggaknya pengembalian dana tersebut oleh masyarakat penerima.
”Tingkat kesadaran pengembalian kredit oleh masyarakat di wilayahnya cukup baik. Namun, jumlah kredit yang tertunggak juga masih cukup besar, mencapai Rp100 juta. Ini menunjukkan semangat mengembalikan dana bergulir itu masih lemah,” kata Lurah Bukit Biru, Parman.

Bank Pembangunan Daerah (BPD) tidak akan menggulirkan kredit kepada masyarakat lainnya apabila jumlah tunggakan sebesar itu.
“Tapi bukan berarti ini bisa dikatakan sebagai kredit macet,” tambah parman kepada Garda Rakyat saat ditemui di kantornya.
Parman sendiri membantah, apabila terjadinya tunggakan tersebut akibat salah dalam penyaluran, karena data yang dipakai adalah hasil rujukan dari 21 RT di kelurahannya. Namun tunggakan tersebut merupakan celah yang dilihat masyarakat, akibat kurangnya perangkat yang mengatur mekanisme penyaluran dan pengembalian kredit itu sendiri, disamping kurangnya sosialisasi mengenai program tersebut.

“Lemahnya kredit pedesaan ini berasal dari kurangnya perangkat kebijakan yang mengaturnya,” tandas Parman.
Namun, ia menampik jika program ini dinilai gagal total. Karena tingkat kesadaran masyarakat untuk mengembalikan kredit di kelurahan Bukit Biru termasuk tinggi, yakni di atas 70%. Logikanya, jika mayoritas masyarakat mampu mengembalikan kredit tersebut sebelum tenggat waktu yang telah ditentukan, maka bisa dikatakan usaha mereka cukup sukses.
Data dan catatan kelurahan, kebanyakan warga yang menunggak berdalih kredit yang diterimanya tidak perlu dikembalikan.

Alasan mereka harap dimakfum, lantaran tidak ada penjelasan dan sosialiasi mengenai keberadaan program itu sendiri. Sehingga banyak yang menganggapnya tidak usah dikembalikan karena itu uang rakyat yang diberikan melalui program Gerbang Dayaku. Sementara tidak ada sangsi hukum yang mengikat jika masyarakat menunggak ataupun tidak mau mengembalikan.
“Hanya sebatas sanksi moral. Karena kita tidak memiliki wewenang untuk mengadili seseorang,” ungkap Wasman Sinaga, Sekretaris Kelurahan Bukit Biru.
Ia berharap pemerintah dapat memahami dan segera melahirkan perangkat pengaturnya. Adanya aturan yang mengikat dan kewajibkan mengembalian, maka kredit bergulir bisa berjalan sehat dan segera dinikmati oleh warga desa lainnya.

Di kelurahan Bukit Biru sendiri, ada 23 penerima kredit baik kelompok maupun perorangan. Meskipun tunggakan masih Rp100 Juta lebih, namun lurah tetap optimis warganya akan melunasi kredit. Hingga beberapa bulan terakhir, setiap pihak yang telah menerima kredit, tetap memberikan cicilan pada BPD. Hanya kredit tanpa bunga ini, setelah 2002 hingga sekarang tidak digulirkan lagi. Sementara penjelasan dari para pembuat kebijakan di daerah ini juga belum begitu jelas mengenai dana bergulir ini.
(rin/hnf)