DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Meneropong Mutu Pendidikan

Meneropong Mutu Pendidikan


hj Joice Lidya (Foto: murdian)


Setiap anggaran harus diterjemahkan, dalam perbaikan dan penyelematan mutu pendidikan satu masyarakat Kukar yang utuh. Rincian kemana aliran dana 20 persen dari APBD 2006 itu akan digiring, sebaiknya direncanakan secara sitematis. Terasa hambar, jika hasil nanti sama dengan tahun sebelumnya. Menjadi tangung jawab bersama genjot pendidikan di Kukar

Meneropong persoalan pendidikan memang kompleks dan tiada surutnya. Mulai era Ki Hajar Dewantara sampai memasuki jaman secanggih 2006 ini, pernak-pernik pendidikan selalu memunculkan paradigma baru. Berlakunya milenium ke-3 membawa angin modenisasi yang begitu kencang, ilmu pengetahuan dan teknologi dituntut melangkah beriringan dengannya.

“Kukar yang memiliki APBD besar, belum sebanding dengan kualitas SDM nya. Ini menjadi PR bagi kita semuanya untuk menggenjot pendidikan di daerah ini,” ucap Wakil Ketua DPRD Hj Joice Lidya seraya membaca Garda Edisi 36.
Upaya demi menciptakan generasi penerus dengan kualitas SDM tinggi di Kukar, memang secara berkelanjutan telah digalakkan dari waktu ke waktu tanpa menakar berapa liter keringat yang terkuras. Peningkatan SDM menjadi sasaran utama Program Gerbang Dayaku Tahap I dan II. Kebijakaan pemerintah mulai menggrantiskan biaya sekolah, memfasilitasi sepeda motor untuk seluruh tenaga guru hingga secara bertahap perbaikan sarana dan prasaran sekolah. Apakah kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan itu telah mampu menjawab tantangan, tuntutan dan perubahan yang yang serba cepat dalam lingkup global. Dimana sangat perlu dicermati sebagai upaya meningkatkan daya saing bangsa, terutama warga Kutai dalam konteks khususnya. Namun yang pasti pemerintah sangat kentara perhatiannya berkaitan dengan seluk belum permasalahan di bidang pendidikan. Menurut hemat Joice, subyek yang dimaksud adalah mutu pendidikan yang berkorelasi

Dalam rangka peningkatan profesionalitas, Joice membuka UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar. Guru menjadi ujung tombak proses pendidikan perlu disangoni ilmu dan pengalaman mumpuni. Disekolahkan ke luar daerah atau bila perlu mentransfer guru dari luar pulau yang secara nasional sebagai yang terbaik di bidang pendidikan. Mengambil mereka bukan berarti talenta pengajar di daerah disepelekan begitu saja.
“Kecanggihan kurikulum lengkap dengan panduan manajemen sekolah serasa tidak berarti jika tidak diimbangi dengan keberadaan guru yang profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesionalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha juga industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi dengan cara yang arif serta bijaksana,” tutur Joice.

Uluran tangan untuk sektor pendidikan musti disodorkan kepada subyek yang tepat, dan rincian kemana aliran dana 20 persen APBD itu akan digiring, sebaiknya direncanakan secara sitematis.
Menurut hemat Joice, subyek yang dimaksud adalah mutu pendidikan yang berkorelasi langsung dengan kompetensi siswa. Setiap anggaran harus diterjemahkan, dalam perbaikan dan penyelematan mutu pendidikan satu masyarakat Kukar yang utuh.
“Sasarannya tentu saja sekolah-sekolah di pelbagai daerah yang memprihatinkan baik prasarana maupun sumber daya manusianya.” tegasnya
Ia menambahakan, bagaimana mutu pendidikan akan berdiri sama tinggi apabila sebuah daerah masih menghadapi masalah atap bocor, guru yang sering absen, metode pengajaran yang lemah, dan lain sebagainya. Itu semua adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai institusi publik yang bertanggung jawab atas pendidikan yang layak bagi semua.
“Diknas musti meningkatkan kinerjanya, jangan loyo kalau ingin menjadikan Kukar “duduk” sama rata, dengan kota-kota besar di Indonesia. Bagaimana minat belajar itu bisa digalang, kalau tempat mereka menempa ilmu sudah masuk kriteria tak laik huni lagi,” lanjutnya.

Mengacu Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), Joice menjabarkan setiap sekolah diwajibkan mempunyai satu dan lain macam persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup. Seperti luas lahan tempat berdirinya areal sekolah, termasuk kelengkapan segala jenis perabotan pokok. Keberadaan peralatan penunjang semisal laboratorium, maupun media sejenisnya perlu lebih dioptimalkan. Untuk menjaga kesehatan jasmani siswa, maka perlu dibangun lokasi olahraga yang memadai.
“Dengan persyaratan minimal seperti itu, kualitas pendidikan yang top di lingkungan Kutai Kartanegara, bukan lagi sekedar angan-angan semata,” tegasnya.

BEASISWA
Ditempat terpisah, Sekretaris Komisi I Syaiful Aduar S.Pd langkah menuju tatanan kehidupan yang lebih baik dan teratur adalah cita-cita semua orang, termasuk Kukar yang eksis dengan Program Gerbang Dayaku-nya. UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
“Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal, yaitu latar belakang pendidikan keguruan atau umum dan memiliki akta mengajar. Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi,” ujarnya.
Namun, tambah Saiful fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.

“Pihak Diknas mencermati betul-betul setiap rancanganya. Aplikasi dan impelementasi GD Tahap II juga dipengaruhi tentang bagaimana menata pendidikan dengan sebaik-baiknya,” pesan Saiful.
Tidak hanya sampai di situ saja penyebab pendidikan di Kutai Kartanegara lamban berkembang. Pembagian beasiswa dinilai Saiful judtru tidak effektif. Segepok rupiah dengan “label” bantuan beasiswa itu diserahkan secara merata itu justru merupakan kelalaian. Seharusnya system pembagian beasiswa berbasis kategori, bukan model pemerataan dengan “selimut” supaya tidak menimbulkan kecenderungan sosial. Pedoman seperti itu sangatlah saklek. Kurang pas, sebab makna pemerataan ditelan mentah-mentah.
Sebaiknya penyerahan beasiswa dipriorotaskan bagi mereka yang berprestasi, serta yang berasal dari keluarga yang terbukti nyata miskin, tinggal didaerah terpencil dan sudut kumuh perkotaan.
“Adanya kompetisi memperoleh beasiswa, saya yakin akan timbul gairah dan semangat antar pelajar. Persaingan yang sehat pasti menghsilkan bentuk kemajuan,” tegasnya.

Saiful juga memandang perlunya penghargaan yang ditujukan untuk meningkatkan derajat pendidikan sebagai bagian dari sumber daya manusia. Pemberian penghargaan kepada para guru beserta staf pengajar yang mengikis rejekinya dari sekolah, akan termotivasi jika diberikan penghargaan berupa gaji, bonus, dan komisi, yang mana disesuaikan dengan pengorbanan dan kinerja masing-masing orang. Namun bila etos kerjanya saja tidak ada, mengapa harus diberi.
Hal tersebut sesuai dengan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dengan memantapkan pola-pola wajib belajar yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, dimana setiap anak musti menuntaskan pendidikannya hingga jenjang SMA.
“Disamping perlunya koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga ataupun dinas dan instansi tehnis terkait,” saran Saiful.
(ab)