DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Aren Untuk Masa Depan Kutai Kartanegara

Aren Untuk Masa Depan Kutai Kartanegara


Dr Ir Willie Smits Ketua Gerakan Aren Indonesia (Foto: sahrin)
Hampir semua masyarakat asli Kutai Kartanegara, mengenal dengan baik tumbuhan Aren, biasanya dipanggil dengan bahasa lokal, yaitu Puhun Benda. Bernama ilmiah Arenga pinnatae dan masuk dalam famili Arecaceae (Palmae), banyak dimanfaatkan penduduk untuk membuat sapu ijuk, gula merah, tuak dan cuka, serta kadang-kadang dimanfaatkan sagunya sebagai penganan alternatif.

Meskipun telah lama dikenal sebagai tumbuhan produktif, namun belum ada upaya nyata ke arah pelestariannya. Demikian pula masyarakat yang berprofesi sebagai pembuat gula merah, meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi masih mengandalkan pada Aren yang tumbuh secara alami, belum terpikirkan untuk melakukan penanaman secara langsung, ataupun penyeleksian bibit.

Padahal tumbuhan yang seringkali dipandang sebelah mata ini, ternyata menyimpan potensi ekonomi yang luar biasa jika digarap secara optimal. Nira ( Air Aren) tidak hanya dapat diolah menjadi gula merah untuk pasaran lokal saja, tetapi bernilai lebih jika diolah dengan pabrik modern, sehingga mampu menjadi komoditas eskspor unggulan non migas.



Pohon Aren Merupakan Komiditi Andalan Masa Depan (Foto: sahrin)
Seperti diungkapkan Dr Ir Willie Smits Staf Ahli Presiden Bidang Pengembangan Aren Nasional. Bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi solusi Kutai di masa datang dan merupakan masa depan andalan dalam masalah keuangan daerah.

Berbicara kepada Saiful Aduar SPd Anggota DPRD Kutai Kartanegara, di Kantor Yayasan Borneo Orang Utan Survival (BOS), di Kecamatan Samboja Jumat (9/3) lalu. Pria ramah itu menegaskan, ada banyak keunggulan Aren jika dibanding dengan tanaman pilihan lainnya, seperti sawit yang selama ini menjadi program andalan.

Tidak seperti sawit yang harus disediakan lahan lapang dengan luas ratusan hingga ribuan hektar, Aren hanya perlu disediakan lahan pekarangan, ataupun kebun saja, sifatnya yang selalu survive dalam tumbuh, akhirnya menunjang dengan baik untuk perbaikan lahan-lahan kritis.

Bahkan pohon yang dapat mencapai tinggi hingga 25 meter tersebut, dapat menjadi solusi bagi lereng-lereng perbukitan rawan longsor, dengan akar serabut yang dapat mencengkram tanah hingga kedalaman 6 meter, aren kokoh berdiri di kawasan yang belum kta bayangkan.

Berdasarkan penelitian yang berulang kali dilakukan, kawasan Tenggarong hingga Ulu Mahakam sangat cocok untuk pengembangannya. Karena itu Pembina Yayasan BOS tersebut berencana akan membangun sebuah pabrik pengolahan gula aren di Kukar. Rencananya pabrik akan dibangun secara terapung, sehingga dapat bergerak mengikuti pasokan nira petani serta ketersediaan bahan pabrik.

Khusus untuk bahan bakar pabrik, Willie telah memiliki konsep di Kukar, yakni dengan menggunakan sisa-sisa sampah organik kayu, yakni serbuk gergaji dari ratusan bekas sawmill yang telah berhenti operasi, di tepi Sungai Mahakam.

Dengan cara demikian bukan hanya kebutuhan bahan bakar pabrik dapat dipertahankan, tetapi juga menyelematkan Aliran Sungai Mahakam dari pencemaran, akibat limbah gergaji kayu tersebut. Upaya itu juga akan mendapatkan perhatian internasional, bahkan akan diberikan reward lantaran telah bekerja secara ramah lingkungan.

Guna mendapatkan Nira yang bermutu tinggi, masyarakat penyadap Aren akan diberikan pelatihan bagaimana cara penyadapan yang baik. Sebagai bagian dari layanan pabrik, akan dikerahkan unit-unit mobil dan kapal tangki untuk menjemput nira-nira para petani di titik- titik point yang telah ditentukan.

Sebagai prediksi awal berdasarkan ketersediaan pohon aren, dan sentra-sentra pengolahan gula merah tradisional, Willie memprediksi pembukaan pabrik jika terealisasi akan membuka 10 ribu lapanga tenaga kerja baru, dan akan menghidupi ribuan orang lainnya.

Hal itu didasarkan pada pengalaman di Tomohon Sulawesi Utara. Di daerah itu telah berdiri sebuah pabrik moderen pengolahan gula aren. Jenis-jenis gula yang dihasilkan beragam, ada gula semut, gula kristal dan gula batangan yang sama dengan gula merah tradisional, tetapi hasil produksinya bersih, sesuai standar masyarakat ekonomi eropa.

Operasional di bawah panji Yayasan Masarang, beberapa tahun lalu, pabrik tersebut kini telah memproduksi 3 ton gula merah perhari, dengan jumlah tenaga kerja mencapai 6 ribu orang, dan penghasilan perorang sebesar Rp60 ribu setiap hari, itupun belum termasuk bagi keuntungan sebesar 1 persen dari perusahaan kepada anggota setiap tahunnya.

Menurut Willie pasaran gula aren ini, sekali operasional dan berjalan tidak pernah ada ruginya. Hal itu karena permintaan pasar eropa sangat tinggi, terutama gula semut harga jual di negara-negara eropa dapat mencapai Rp90 ribu ke atas, dan harga gula kristal Rp20 ribu perkilogram.

Jika dikaitkan dengan Gerakan Pembangunan dan Pemberdayaan Kutai Kartanegara (Gerbang Dayaku), maka optimalisasi aren ini sejalan dan merupakan kunci sukses di masa datang. Apalagi hingga saat ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkisar puluhan milyar saja, tentu tidak akan merugi apabila mampu melakukan ekspor gula aren ke luar negeri. (rin)