DPRD Kutai Kartanegara
Warta DPRD: Penambang Pasir Mengeluh ke DPRD

Penambang Pasir Mengeluh ke DPRD


penambang pasir mengadu ke DPRD (Foto: yeni)
MARAKNYA penambang pasir dengan menggunakan sistem tembak, dikeluhkan penambang pasir yang dilakukan secara manual. Selain tidak adanya standar harga, mereka juga kesulitan untuk memasarkannya.

Untuk menyelesaikan masalah ini, puluhan penambang pasir yang tergabung dalam Himpunan Penambang Pasir Kutai Kartanegara (HP2K) mendatangi DPRD. Perewakilan HP2K, mengatakan bahwa beroperasinya penambang pasil tembak, sangat merugikan penambang pasir manual. Selain masalah persaingan harga, penambang pasir manual kesulitan untuk memasarkannya. Penambang pasir manual “Padahal menambang pasir secara manual banyak menyerap tenaga kerja,” katanya.

Hearing (rapat dengar pendapat) dengan instansi terkait yang difasilitasi Komisi II DPRD Kukar. Hearing di ruang panmus DPRD itu juga dihadiri perwakilan Dinas Perhubungan (Dishub) Kukar, Bapedalda, Disperindagkop, Kakan Satpol PP Gimin dan Kabag Ekonomi Setkab Kukar Dardiansyah.

Diakui banyak pengusaha berani menjual pasir dengan harga miring karena tidak terbebani pajak atau distribusi kepada pemerintah setempat. Biasanya mereka beraktivitas secara tidak disertai izin alias ilegal. Sebaliknya, ada pengusaha terpaksa menjual pasir lebih mahal lantaran terbebani distribusi dan biaya yang tidak sedikit untuk mengurus izin.

Ironisnya lagi, sebagian penambang pasir ternyata hanya mengandalkan izin dari desa atau keluhanan setempat. Padahal bila dikaji seksama, lurah atau kepala desa tidak berhak mengeluarkan izin, kecuali pemerintah kabupaten. Kecamatan boleh mengeluarkan sebatas izin galian C, itupun maksimal 0,5 hektare.

Banyak pengusaha beraktivitas melakukan penambangan tanpa mengantongi izin dari pihak berwenang. Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kukar sendiri mengaku dalam kurun 2006-2007 baru mengeluarkan 8 izin dan 2 masih dalam proses.

“Memang ini harus ditertibkan. Sebab tidak menutup kemungkinan juga ada aparatur yang seenak perut menentukan biaya perizinan, sehingga pengusaha itu sendiri enggan mengurus izin,” kata Marwan, anggota Komisi II DPRD Kukar yang memimpin hearing tersebut.


Tindakan penertiban itu dinilai penting dan mendesak, karena kegiatan penambang dianggap membahayakan lingkungan. Selain itu, HP2K mengeluhkan terjadinya monopoli harga pasir di lapangan. Ada yang menjual Rp 75 ribu per kubik dan ada menjual hanya Rp 50 ribu per kubik. Fakta ini tak terlepas dari faktor legalitas pengusaha pasir itu sendiri.

Bapedalda, juga khawatir dengan maraknya aktivitas penambangan pasir di Sungai Mahakam. Sebab hal itu bisa merusak sendimentasi dan biota Sungai Mahakam. Jika dibiarkan bisa membuat turup-turap yang dibangun miliar rupiah amblas.

Menyikapi hal ini, Instansi terkait akan membentuk tim terpadu untuk menertibkan aktivitas penambangan jenis galian C, khususnya penambangan pasir di sepanjang Sungai Mahakam. Seiring dengan marak terjadi penambangan pasir di Sungai Mahakam. (pwt)